(Note : ini ceritanya lumayan panjang, tapi worth-to-read banget kok, mber. Jangan males baca ya.)
Aku menatap toples dihadapanku. Dibalik dinding kacanya, mengapung di
dalam cairan kental kekuningan adalah segumpal sel kanker yang balik
menatapku. Selama berjam – jam aku bertanya – tanya apakah gumpalan ini
memiliki pikiran sendiri. Tumor otak yang memiliki otak— kedengarannya
memang gila. Aku telah membuat dokterku berjanji untuk tidak membuang
gumpalan tumor itu. Paling tidak jangan sekarang. Sampai aku punya cukup
waktu untuk mengucapkan selamat tinggal.
Tumor otak sangat
sulit untuk dideteksi. Seperti jenis – jenis kanker lainnya, tumor otak
dapat dikenali dengan berbagai macam gejala seperti rasa pusing dan
sakit kepala, kejang – kejang, bahkan halusinasi. Masing – masing orang
mengalami gejala yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak terbatas
hanya pada ukuran otak, ukuran dan lokasi tumor itu di kepala,
kebiasaan memakai obat – obatan, apakah pasien pernah mengalami cedera
di kepala sebelumnya, riwayat kesehatan dan juga faktor keberuntungan.
Tumor di kepalaku berada di bagian depan otakku dengan diamater sekitar
1,8 inci seperti yang dikatakan oleh dokter yang memeriksaku. Pacarku
Briony beranggapan bahwa 1,8 inci adalah luar biasa besar untuk sebuah
tumor.
Tidak ada riwayat kanker di keluargaku dan aku tidak
pernah menduga bahwa aku akan terkena kanker. Sejujurnya aku mengira
bahwa gejala – gejala yang kualami hanya bersifat sementara saja. Dalam
beberapa hal, aku mungkin benar, namun apa yang kualami saat tumor itu
masih berada di dalam kepalaku akan mempengaruhiku selamanya.
Gejala awal yang kualami adalah halusinasi pendengaran.
Saat itu aku sedang berbelanja di sebuah Department Store.
“Daun selada itu sepertinya sedang kelaparan.” Aku mendengar seseorang berkata.
Aku mengalihkan pandangan dari pucuk daun selada yang kupegang ke kasir
di sebelahku. Wajahnya terfokus pada kain pel yang sedang digunakannya
untuk membersihkan lantai.
“Maaf, anda tadi bilang apa?” tanyaku.
Dia menatapku dan aku bisa melihat pantulan wajahku yang tampak kebingungan di anting – anting yang menggantung di hidungnya.
“Apa?” dia balas bertanya.
“Tadi kau bilang apa tentang daun seladanya?” tanyaku lagi.
“Saya tidak bicara apa – apa” dia tampak kebingungan.
“Benarkah?”
“Iya. Pak, apa anda baik – baik saja? Wajah anda sangat pucat.”
“Aku...aku baik – baik saja. Kurasa aku hanya salah de—“
Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, semuanya menjadi gelap saat aku roboh dan pingsan.
Dalam keadaan tidak sadarkan diri aku bermimpi. Di dalam mimpiku aku
sedang berlari dalam kegelapan yang sepertinya tak berujung. Sesuat
usedang mengejarku tapi aku tidak tahu apa itu. Sesekali aku akan
sekilas melihat mahluk itu. Siluetnya tampak seperti manusia tapi bentuk
kepalanya sangat aneh. Akhirnya kakiku mulai terasa terlalu lelah untuk
berlari dan aku langsung terkulai lemas dan jatuh ke lantai. Saat aku
menoleh untuk melihat siapa yang mengejarku aku mendapati bahwa dia
adalah kasir pusat perbelanjaan itu tapi di kepalanya tampak sebuah
mulut besar yang dipenuhi oleh gigi. Rahangnya yang besar terbuka lebar
dan aku merasa seakan – akan ada ratusan jarum – jarum kecil mengoyak
leherku.
Lalu kegelapan kembali menutupiku, digantikan oleh
cahaya putih yang membanjiri seluruh penglihatanku. Bunyi langkah kaki
monster itu teragantikan oleh bunyi ‘bip bip’ dari mesin yang memonitori
detak jantungku. Seorang wanita yang memakai seragam putih dan seorang
wanita yang memakai gaun biru berdiri di di kiri kananku.
Wanita berseragam putih itu adalah dokter tentu saja. Dan wanita bergaun
biru itu adalah Briony yang wajahnya basah oleh air mata.
Rasa kuatir mereka padaku membuat dadaku terasa sesak. Aku berusaha
meyakinkan mereka bahwa aku baik –baik saja. Bahwa kadar gula di darahku
terlalu rendah.
“Itu terjadi lebih sering dari yang kita duga.” Kata dokter itu.
Semua tes pemeriksaan yang dilakukannya tak satupun yang menunjukkan
bahwa ada yang salah denganku. Tak seorangpun yang berpikir untuk
melakukan tes pemindaian otak jadi mereka mengijinkanku pulang.
Dan sejak hari itu, gejala – gejala yang kurasakan semakin memburuk.
Setiap pagi aku terbangun dengan migrain yang membuat tubuhku terasa
lemas. Hampir tiap malam aku terbangun dari tidur karena mimisan yang
berlangsung selama berjam – jam. Aku berusaha menyembunyikan semuanya
dari Briony dan keluargaku dan meyakinkan diri bahwa ini hanya
sementara. Aku tidak ingin membuat mereka kuatir dan aku yakin bahwa
mimisan dan migrain ku lambat laun akan berhenti juga. Namun kenyataan
sebenarnya pelan – pelan menampakkan dirinya padaku. Gejala – gejala
yang kualami ditubuhku hanya sebagian kecil dari apa yang kutakutkan.
Berikut adalah jurnal yang ku tulis yang berisi tentang gejala – gejala
yang ku alami. Aku harus menulis nya untuk meyakinkan diriku sendiri
bahwa aku tidak kehilangan akal sehatku.
31 Desember, Pesta Tahun Baru.
Salah seorang temanku mendatangiku dan berkata,
“Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.” Aku lalu mengikutinya dan tiba –tiba dia berseru,
“Hey! Aku ingin ke toilet, apa kau bisa memberiku sedikit privasi?”
Dia membantah bahwa dia memintaku untuk mengikutinya. Dan tak ada seorangpun yang mendengarnya berkata demikian.
9 Januari
Briony sedang merapikan tempat tidur malam itu. Aku duduk di kursi dan
mengamatinya. Saat dia sedang memasang seprai, sesuatu jatuh dari
kepalanya ke atas kasur. Aku hanya melihatnya selama beberapa detik tapi
benda itu berwarna kehijauan dan tampak basah. Dia membentangkan seprai
keseluruh tempat tidur dan menutupi benda itu. Saat aku bertanya dan
membuatnya melepas lagi seprai itu, aku melihat tidak ada apa – apa di
atas kasur.
19 Januari
Aku mengunjungi
dosen ekonomiku di ruang kerjanya. Kami sedang membahas beberapa soal
yang salah ku kerjakan pada ujian terakhir. Saat aku menatap wajahnya,
aku melihat seekor lipan menukik keluar dari balik kerah bajunya dan
mulai merayap ke lehernya. Aku langsung mundur dengan rasa ngeri luar
biasa, membuatku hampir jatuh dari kursiku.
Kelabang itu
merayap naik ke dagu dan mulutnya lalu menyelinap masuk ke dalam lubang
hidungnya. Dosen ku menatapku dengan kening berkerut dan mencelaku
karena bersikap aneh.
30 Januari
Bus yang
mengantarku pulang berjalan dengan sangat lambat. Kami terjebak
kemacetan ditengah jalan. Saat aku menyandarkan kepalaku ke jendela, aku
melihat seorang pria gelandangan sedang berdiri diatas trotoar diluar
bus. Dia memegang sebuah kertas yang bertuliskan “JANGAN BERKEDIP, ATAU
AKU AKAN MENGHABISINYA”.
Tulisan aneh itu membuatku
penasaran dan aku hanya bisa menatapnya selama beberapa saat. Pakaian
yang dikenakannya sudah compang camping disana sini, aku bisa melihat
bahwa kulitnya dipenuhi oleh debu dan kotoran. Walaupun demikian,
wajahnya dihiasi oleh sebuah senyum lebar, dan tatapan matanya tertuju
hanya padaku.
Aku mengedipkan mata. Dan saat aku membuka
mata lagi, tulisan itu telah lenyap. Sekarang dia sedang memegang garpu
daging besar ditangannya. Tatapan matanya yang terbelalak masih tertuju
padaku dan tanpa mengalihkan pandangan dia mengangkat garpu itu
mendekati lehernya lalu menancapkannya dalam – dalam disitu.
Darahnya megalir deras ke atas trotoar. Aku menoleh ke sekeliling ke
arah penumpang yang lain untuk mencari tahu apakah mereka juga sedang
melihat pria itu. Tapi semua orang tampak sibuk dengan telepon mereka
atau koran yang sedang mereka baca.
Saat aku menoleh keluar bus lagi untuk melihat pria itu, dia sudah lenyap.
Bahkan tak ada ceceran darah sama sekali diatas trotoar.
4 Februari
Briony menelepon saat aku sedang berjalan menuju halte bus. Dia berkata
bahwa aku meninggalkan buku Makro – Ekonomi ku di rak dekat dapur. Aku
langsung berlari pulang ke apartemenku untuk mengambilnya. Dosenku akan
menelanku hidup – hidup kalau aku lupa membawa buku itu lagi. Saat aku
tiba dirumah, Briony tidak tampak dimanapun dan saat aku memeriksa
riwayat panggilan di teleponku aku mendapati bahwa Briony tidak pernah
meneleponku sama sekali pagi itu. Dan buku itu rupanya sudah kubawa di
dalam tas ranselku.
16 Februari
Aku mendapati
seorang pria berdiri di dalam kamar mandi pagi ini. Pakaian yang
dikenakannya tampak koyak disana sini dan dipenuhi oleh noda – noda
darah. Dia tersenyum luar biasa lebar dan ada sebuah lubang menganga di
tenggorokannya. Pria itu adalah pria yang kulihat menikam dirinya
sendiri diatas trotoar. Aku berusaha mengalihkan pandanganku sambil
memejamkan mata berulang – ulang kali tapi dia masih tetap berdiri
disana. Aku memutuskan bahwa aku tidak bisa mandi hari itu. Kurasa aku
sudah mulai kehilangan akal sehatku.
17 – 22 Februari
Pria itu mulai sering muncul dimana – mana. Di dalam kamar tidurku, di
dapur bahkan di dalam kelas. Dia hanya berdiri menatapku. Tapi dia bukan
satu – satunya. Mayat – mayat lainnya mulai mengikutiku setiap hari.
Hari ini aku diikuti oleh seorang gadis kecil yang tulang pergelangannya
telah patah sedemikian rupa sehingga menekuk di balik kepalanya.
Kemarin aku melihat seorang pria yang mata dan hidungya tampak seakan –
akan sudah disantap oleh binatang buas. Dan sehari sebelumnya aku
diikuti oleh seorang wanita tua yang tulang belakangnya telah patah dan
membuat tubuhnya membungkuk ke samping.
Mayat – mayat itu
berbicara padaku. Tak ada seorangpun yang mendengar mereka kecuali aku.
Mereka berbisik di telingaku dan bahkan aku masih bisa mendengar mereka
walaupun aku sudah menutupi telingaku. Dari awal sejak aku mulai menulis
jurnal ini, mereka sudah menyuruhku melakukan hal –hal mengerikan :
“Bunuh dirimu sendiri.”
“Gorok tenggorokanmu.”
“Tenggelamkan Briony.”
“Tikam Briony”
“Begini lebih baik.”
“Semua orang membencimu.”
“Mereka menertawaimu saat aku tidak ada.”
“Kau tidak berharga. Tidak berharga.”
“Mati Mati Mati Mati Mati Mati.”
Kurasa aku memang benar – benar sudah gila.
Pikiranku benar – benar sudah kacau saat aku menyelesaikan jurnalku.
Orang – orang disekitarku terus – terusan bertanya apakah aku baik –baik
saja dan bahwa aku tampak sakit. Rasa takut dan cemas berlebihan
menggerogoti kepalaku dan setiap kali ada yang berbicara denganku aku
tidak tahu apakah mereka benar – benar nyata atau hanya sedang
berhalusinasi.
Suatu hari Briony menemukanku sedang
berbaring di ujung tempat tidur dengan sebuah pisau ditanganku. Dia
merasa cemas karena aku belum membalas pesannya selama beberapa jam. Aku
tentu saja tidak bisa membalas pesannya karena salah satu dari mayat –
mayat itu sudah mengambil teleponku. Saat Briony menemukanku aku benar –
benar sudah siap untuk menghabisi diriku sendiri.
Aku hanya ingin suara – suara di dalam kepalaku berhenti.
Dia memaksa untuk membawaku ke rumah sakit. Seorang dokter spesialis
langsung melakukan serangkaian test dan pemindaian otak padaku. Hasilnya
menunjukkan bahwa aku memiliki sebuah tumor di bagian depan otakku.
Dokter menjelaskan bahwa tumor dengan ukuran dan lokasi seperti itu
dapat menyebabkan halusinasi penglihatan dan pendengaran seperti yang
kualami.
Dia juga berkata bahwa akan sangat sulit bagi
penderitanya untuk membedakan mana yang nyata dan tidak nyata. Mereka
haus segera mengoperasiku. Dan ini adalah prosedur yang sangat beresiko.
Ada kemungkinan bahwa otakku akan mengalami kerusakan permanen. Bahkan
yang lebih mengerikan lagi, ada kemungkinan bahwa tumor itu sudah
menyebar sampai ke bagian dalam otakku. Kalau benar demikian maka
mustahil untuk mengeluarkannya dari dalam kepalaku. Bahkan apabila
mereka berhasil melakukannya, masih belum bisa dipastikan apakah masih
ada sisa – sisa tumor itu yang tertinggal. Dan satu – satunya cara untuk
memastikannya adalah dengan menunggu dan melihat kalau – kalau
gejalanya kembali lagi.
Aku tidak yakin apakah aku ingin
menjalani operasi itu. Saat Briony mengetahui betapa mengerikannya
gejala tumor itu, dia berkeras agar aku dioperasi. Rumah sakit lalu
memasukankku dalam daftar pasien yang akan menjalani operasi keesokan
harinya. Aku tidak bisa tidur malam itu memikirkan bahwa otakku mungkin
akan rusak selamanya. Aku merasa takut bahwa aku mungkin tidak akan
kembali normal lagi.
Briony menjagaku semalaman. Tak peduli
betapa takutnya aku dan seberapa banyaknya air mataku mengalir dia
tetap berkata apdaku bahwa semuanya akan baik –baik saja. Dia benar –
benar sangat menyayangiku. Tidak peduli dalam keadaan seburuk apapun,
dia tetap bisa bersikap tenang dan sabar. Aku tidak mungkin melewati
semua ini tanpa dirinya.
Keesokan harinya dia mengantarku
ke rumah sakit. Jantungku berdebar – debar membuat dadaku terasa sesak.
Saat aku akhirnya terbaring lemas diatas troli, napasku benar – benar
sudah tidak dapat ku kendalikan. Briony berdiri disampingku saat para
petugas rumah sakit membantuku bersiap – siap untuk operasi. Dia
menggenggam tanganku sambil berkata bahwa semuanya akan baik –baik saja.
Saat dokter muncul dan membawaku ke ruang operasi, dia meremas tanganku
dan mengecup dahiku. Dia pasti sama takutnya denganku karena aku bisa
melihat matanya mulai berkaca – kaca. Sebelum aku dibawa masuk ke dalam
ruang operasi aku masih sempat mendengarnya berkata “Aku mencintaimu.
Semoga operasinya berjalan lancar.”
Briony adalah hal
terakhir yang kupikirkan saat mereka menaruh masker menutupi wajahku.
Dan saat obat bius pelan – pelan membawaku jauh ke bawah alam sadarku,
aku mengucap syukur pada Tuhan karena telah membawa Briony masuk ke
dalam kehidupanku.
Selama operasi berlangsung, aku bermimpi
aneh. Dalam mimpiku, aku sedang berjalan menyusuri lorong di sebuah
Hotel kecil. Tak peduli seberapa lamanya aku berjalan, lorong itu
tampaknya tak berujung. Tak ada yang menjawab saat aku mengetuk pintu –
pintu kamar sepanjang lorong itu. Hanya ada aku sendiri.
Lalu aku terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalaku. Seorang
suster tampak berdiri disampingku. Aku mencoba untuk berbicara tapi
mulutku terasa begitu kering. Dia memberiku segelas air yang langsung ku
teguk dengan rakus. Saat rasa kering di mulutku mereda, aku akhirnya
bisa berbicara lagi.
“Apakah... operasinya berjalan lancar?”
“Ya, Tuan. Operasinya berlangsung dengan baik. Tumor di kepala anda berhasil kami keluarkan tanpa ada komplikasi.”
Aku langsung merasa lega, seakan – akan sebuah beban berat telah
diangkat dari dadaku. Sudah berakhir. Aku merasa seperti sedang menahan
napas selama beberapa bulan terakhir ini dan sekarang aku sudah bisa
bernapas dengan lega lagi. Beberapa jam kemudian, suster itu memberitahu
bahwa ada seseorang yang datang menjengukku. Rupanya Ibuku. Jujur saja
aku merasa sedikit terkejut walaupun aku sudah memberi tahunya bahwa aku
akan menjalani operasi, tapi aku tidak menyangka bahwa dia akan jauh –
jauh kesini untuk menjengukku. Rumah orang tuaku berjam – jam jauhnya
dari apartemenku dan aku tahu Ibuku tidak suka menyetir. Tapi aku senang
luar biasa melihatnya.
Beberapa saat setelah Ibuku tiba,
ayahku dan beberapa orang temanku juga datang untuk melihat keadaanku.
Wajah mereka juga tampak lega dan aku hanya bisa tersenyum seakan – akan
sudah berbulan – bulan lamanya aku tidak melihat mereka.
Ibuku lalu menjelaskan situasiku pada teman – temanku, tentang betapa
gawatnya tumor yang kuderita dan bahkan sempat berkelakar tentang
bagaimana aku mulai bertingkah seperti orang yang sudah kehilangan
kewarasannya. Dan kemudian dia lalu mengucapkan sesuatu yang aneh.
“Saat dalam perjalanan ke rumah sakit, dia tampak benar – benar ketakutan!” kata Ibuku dan itu membuatku merasa aneh.
“Bagaimana Ibu bisa tahu bagaimana tampangku waktu itu?” tanyaku.
Ibuku menatapku dengan ekspresi bingung di wajahnya.
“Entahlah. Tapi kau memang tampak benar – benar ketakutan.” jawabnya.
“Bukan begitu. Bagaimana mungkin kau bisa tahu bagaimana tampangku
waktu itu sedangkan kau tidak ada di dalam mobil saat aku dalam
perjalanan ke rumah sakit, Bu?”
“Tentu saja aku ada disana. Menurutmu siapa yang mengantarmu ke rumah sakit?” jawab Ibuku sambil memutar bola matanya.
Tiba – tiba perutku terasa mual. Ada sesuatu yang salah. Bukan Ibuku
yang mengantarkanku ke rumah sakit. Tapi Briony lah yang mengantarku.
Aku memandang sekeliling ruangan tapi Briony tidak tampak dimanapun.
“Mom, dimana Briony?”
Ibuku mengangkat bahu dan berkata dia tidak tahu. Aku lalu meminta
teleponku dan dia langsung mengeluarkannya dari dalam tasnya. Ini benar –
benar aneh. Aku yakin bahwa aku menitipkan teleponku pada Briony.
Beberapa menit kemudian berjalan seperti dalam mimpi. Aku memeriksa
teleponku mencari pesan – pesan dari Briony. Bahkan pesan terakhir
darinya tidak ada sama sekali. Namanya pun tidak terdaftar di kontakku.
Wajah semua orang tampak kuatir saat mereka menatapku. Aku berteriak memanggil perawat yang menjagaku tadi.
“Apa kau melihatku saat datang ke rumah sakit tadi pagi?” tanyaku padanya.
“Ya, Tuan. Apa anda baik –baik saja?”
“Apa kau melihat gadis yang datang bersamaku?”
“Maksudnya, ibu Anda?”
“Bukan. Gadis yang seumuran denganku. Namanya adalah Briony.”
“Yang datang tadi pagi mengantar anda kesini adalah ibu Anda."
Saat tumor itu masih berada di dalam kepalaku, aku selalu
mempertanyakan segala hal yang kulihat dan kudengar. Apapun yang ku
lihat bisa saja adalah halusinasi. Apapun.
Mereka lalu
bercerita bahwa Ibukulah yang menemukanku terbaring di sudut tempat
tidur dengan sebuah pisau ditanganku setelah dia mengemudi selama berjam
– jam untuk menengok keadaanku karena aku tidak pernah membalas pesan –
pesannya. Tak seorangpun ingat pernah melihat gadis bernama Briony.
Teman – temanku berkata bahwa mereka jarang melihatku selama berbulan –
bulan. Aku telah mengunci diri di apartemenku dan menolak untuk
berbicara dengan siapapun.
Dan selama itu aku berpikir
bahwa aku berada bersama – sama dengan Briony. Menghabiskan berjam – jam
bercakap – cakap dengannya. Percakapan yang tidak pernah terjadi.
Briony tidak pernah ada. Satu – satunya gadis yang kucintai hanyalah sebuah ilusi. Dia tidak pernah ada.
Dia tidak pernah ada. Dia adalah segalanya bagiku dan bahkan dia tidak nyata.
Aku masih menatap gumpalan tumor di dalam toples di hadapanku. Aku
sudah berpesan pada perawat untuk tidak mengizinkan siapapun masuk
kedalam ruanganku. Aku perlu waktu menyendiri dengan tumor ini. Karena
aku yakin disuatu tempat di dalamnya ada Briony yang sedang menungguku.
Merindukanku seperti aku merindukannya. Saat aku bertanya pada dokter
apakah dia bisa memasukkan tumor itu lagi ke dalam kepalaku, dia hanya
tertawa. Dipikirnya aku hanya sedang bercanda.
Aku merasa
seakan – akan hatiku telah hancur berkeping – keping. Yang terburuk dari
semua ini adalah, setelah tumor itu berhasil diangkat dari dalam
kepalaku, aku semakin sulit mengingat wajah Briony. Atau bahkan saat
kami masih bersama.
Ingatanku tentangnya semakin memudar.
Aku hanya bisa berharap sekarang bahwa kanker itu sudah terlanjur
menyebar jauh ke dalam kepalaku. Bahkan mungkin tumornya akan tumbuh
kembali. Dan aku mungkin akan bertemu dengan Briony lagi.
Saat aku masih sakit dan dihantui oleh halusinasi – halusinasi itu, aku
berharap bahwa mereka akan segera berhenti. Tapi sekarang aku berharap
bahwa mereka tidak pernah lenyap. Aku tidak peduli apakah aku harus
melihat semua hal – hal yang mengerikan itu lagi asalkan aku bisa
melihat wajah Briony sekali saja.
Aku berharap dan berdoa agar kankerku kembali.
Komentar di nonaktifkan